Penjara sebagai tempat penghukuman akhir, tentu tak terlepas dengan dinamika overkapasitas yang terjadi. Dalam setiap kali munculnya permasalahan di dalam penjara, baik itu pelarian, penyimpangan, hingga kerusuhan selalu ada saja penyerta dari kondisi overkapasitas lapas. Tentu saja hal tersebut terdengar seperti alasan, namun faktanya memang begitulah adanya.
Jika melihat data saja seperti yang terdapat di sistem database pemasyarakatan per Maret 2022 saja jumlah narapidana seluruh Indonesia berada di angka 192.931 sedangkan kapasitas lapas hanya berkisar 135.561. Artinya terdapat kelebihan kapasitas yang harus di tanggung oleh lapas seluruh Indonesia. Tentu apabila hal ini dibiarkan saja begitu saja, akan memicu bom waktu yang sewaktu-waktu akan meledak disetiap lapas, seperti menunggu gilirannya saja.
Kondisi penuh sesak tersebut juga seringkali memicu keributan di antara sesama narapidana yang kadangkala luput dari pemantauan. Bahkan hanya untuk hal sepele misalnya tidak sengaja menyenggol kaki temannya, sudah cukup memicu perkelahian diantara sesamanya.
Kondisi psikologis narapidana yang terkadang labil, juga menjadi vaktor lain dari potensi terjadinya gangguan ketertiban. Problem yang berkaitan dengan permasalahan psikologi misalnya saja belum selesainya masalah internal penerimaan diri atas rasa terpenjara yang dirasa, juga peliknya permasalahan lain yang dialami.
Entah sumbernya dari kondisi rumah tangga yang semrawut setelah ia dipenjara, harta benda yang banyak disita, hingga ditinggal nikah tunangan nun jauh disana. Dan sebagai pelengkap rasa penderitaan adalah kondisi penuh sesak yang dirasa.
Dalam sebuah penelitian yang di lakukan oleh Claire Lawrence dan Kathryn Andrews pada tahun 2004 dalam penelitian berjudul The Influence of Precived Prison Crowding on Male Inmates’ Preception of Aggressive Event menemukan bahwa kesesakan di ruang penjara mimicu munculnya stress, dan mengurangi kesejahteraan psikologis. Munculnya kondisi tersebut menjadi pemicu terjadinya agresi.
Boro-boro memaksimalkan lapas untuk melakukan pembinaan, sudah tidak ada perkelahian dan kondisi aman saja, rasanya sudah syukur. Begitu juga dengan perbandingan anggota regu jaga yang diluar nalar keseimbangannya. Tempat penulis sendiri di Lapas Kelas IIA Tenggarong, hingga 16 Maret 2022 jumlah penghuni berada di kisaran 1198 dimana kapasitas 350 dengan kekuatan regu sekali piket jaga hanya 12 orang. Itu pun masih di bagi lagi, dimana 4 orang menjaga pos menara atas, 2 orang menjaga pintu 3, 1 orang komandan mengengawasi di lokasi steril area. Praktis yang berada di lapangan atau blok hanya 5 orang. Artinya 5 orang menjaga 1198, dimana rasio perbandingan 1 : 239. Itu semua diluar dari kejadian mendadak seperti, adanya anggota yang cuti, sakit, melakukan pengawalan luar dan lain sebagainya.
Alih-alih menguatkan relasi sebagai seorang pembina narapidana, para sipir lebih memilih untuk membangun tembok jarak, untuk menjaga kewaspadaan dan tentu saja keselamatan. Ini semua terjadi karena memang, tidak nalarnya rasio antara jumlah yang dijaga dengan para penjaganya itu sendiri. Sehingga menjaga jarak untuk waspada, rasanya lebih relevan dibandingkan dengan melakukan pembinaan. Namun bukan berarti, para petugas tidak melakukan pembinaan sama sekali, karena pembinaan pun tetap berjalan, walaupun kurang maksimal.
Urusan overkapasitas ini “mungkin saja” telah difikirkan oleh para pemangku kebijakan, walaupun memang implementasi masih jauh panggang dari api. Karena menyelesaikan kondisi overkapasitas, tidak bisa diselesaikan hanya dari hilir-nya saja dalam hal ini Lapas.
Ia harus ditangani mulai dari hulu system pemidanannya, dalam hal ini undang-undang pemidanaan dan alur klasifikasi “mentersangkakan” seseorang. Jika sedikit-sedikit tersangka, sedikit-sedikit hukum penjara, tentu membangun lapas ala seribu candi pun rasanya tidak akan selesai begitu saja.
Jika mau ditarik lebih luas lagi, kondisi politik, ekonomi, dan sosial juga menjadi faktor penyumbang seseorang dapat menjadi terpidana. Jika proses dari hulu telah diselesaikan, maka masalah hilir overkapasitas lapas, sedikit demi sedikit terurai.
Tentunya jika overkapasitas dapat ditanggulangi, maka pembinaan sebagai core business utama dapat dimaksimalkan. Hingga akhirnya para narapidana dapat menyadari kesalahan dan tidak mengulangi perbuatan melanggar hukumnya. Dengan harapan mereka dapat menjadi manusia susila yang berkemandirian.
Memanfaatkan Kemajuan Teknologi Dalam Sistem Keamanan Lapas
Seiring sejalan dengan kemajuan teknologi, tentu bukan hal mustahil menerapkan AI (Artificial Intelligence) pada sistem keamanan Lembaga Pemasyarkatan. Pemanfaatan AI dilakukan untuk meminimalisir resiko human error dan kurangnya SDM yang memang penulis rasakan di lapangan.
Hal sederhana misalnya mengintegrasikan sensor pendeteksi krusuhan atau mitigasi bencana dalam bentuk alat sensor getaran, suara, atau suhu yang terhubung dengan aplikasi ponsel milik para petugas pengamanan. Sehingga pada saat muncul getaran, suhu ataupun sensor suara yang sudah melebihi ambang batas tertentu sebagai warning akan muncul notifikasi pada ponsel petugas. Dengan begitu petugas dapat langsung melakukan cek and ricek ke kamar sumber notifikasi.
Pun begitu pula dengan sensor sajam yang cara kerjanya mirip mesin pendeteksi pada marketplace yang dapat mengenali sebuah barang lewat gambar yang diunggah pada pencarian, lalu otomatis dapat mengenali sebuah barang beserta informasinya.
Sistem cctv yang terhubung dalam sistem keamanan tadi seyogyanya dapat terhubung dengan aplikasi di ponsel para petugas, sehingga para petugas dapat memantau secara realtime, disamping melakukan kontrol blok hunian.
Dengan begitu, kurangnya SDM yang ada dapat di maksimalkan dengan bantuan teknologi yang ada. Semua itu pada akhirnya dilakukan untuk mewujudkan sebuah sistem keamanan yang pada akhirnya membantu dalam sebuah sistem pembinaan lembaga pemasyarakatan.
Namun, memang hal ini kita masih memiliki kendala, salah satunya adalah SDM yang memiliki skill sebagai seorang full stack developer, data enginer, hingga Security Engineer. Dan Skill ini sangat jarang, pun setiap pembukaan CPNS, saya tidak pernah melihat lowongan ini tercantum. Padahal ini adalah posisi yang sangat urgen, ditengah kemajuan teknologi seperti saat ini.
Pun ada posisi ini tidak spesifik menyebut posisi ini, bahkan posisi yang terpampang hanya sebatas posisi “Pranata Komputer” yang bahkan spesifikasi dan kualifikasinya hanya sebatas “lulusan” komputer. Sangat jarang atau bahkan tidak ada yang mencantumkan syarat ataupun kualifikasi dengan keahlian spesifik hingga portofolio yang sudah dikerjakan.
Semoga apa yang terjadi di seluruh lapas Indonesia dapat menjadi titik balik perbaikan sebuah sistem pembinaan, hingga segera terselesaikannya masalah benang kusut over kapasitas di dalam penjara. Untuk menciptakan tatanan kemasyarakatan yang berbudi dan beradab.
Penulis: Muhamad Fadhol Tamimy (Petugas Anggota Jaga, dan Tim Humas Lapas Kelas IIA Tenggarong)